Jumat, 01 Mei 2009

MENGGUGAT MLM (MULTILEVEL MARKETING)

Sudah banyak diketahui orang, bahwa MLM atau Network Marketing memberikan banyak keunggulan dan keuntungan ditinjau dari sisi perusahaan untuk meningkatkan pemasaran produknya. Demikian juga ditinjau dari sisi masyarakat luas dan atau konsumen: bisa memberikan peluang untuk juga memiliki bisnis berupa "pemasaran produk yang dia gunakan". Tetapi pada kenyataannya, berapa orang dari anggota masyarakat tersebut yang bisa behasil dalam menjalankan bisnis "baru" tersebut? Sementara itu makin hari makin banyak saja lahir perusahaan-perusahhaan baru yang beroperasi dengan cara MLM. Oleh karenanya, kita harus hati-hati dalam memilih perusahaan jika kita memutusakan untuk menjalankan bisnis tersebut. Agar Anda tidak salah memilih perusahaan MLM yang tidak membawa Anda sukses, izinkanlah saya sharing dengan Anda mengenai ungkapan terhadap MLM dari seorang praktisi multi level marketing, yang sudah mempelajari dan mencoba menjalankan tidak kurang dari 10 perusahaan MLM, sebagai berikut. (Penulisnya, Bambang Jasnanto, di samping sebagai praktisi MLM, juga seorang staff pengajar pada sebuah universitas negeri di Bandung)

MENGGUGAT MLM (MULTILEVEL MARKETING)
Oleh: Bambang Jasnanto
Tulisan ini saya buat, setelah mengikuti dan mempelajari sekitar 10 MLM (berdasarkan pengalaman empiris), dengan tujuan utama agar pembaca memiliki bekal awal dalam menjalankan MLM, dan lebih teliti didalam memilih MLM (bukan untuk menghujat). Tulisan ini juga sebagai pelengkap tulisan lain yang berjudul ?Problema MLM?, ?Apa Yang Ditakutakan Masyarakat Tentang MLM? dll.
MLM merupakan penemuan baru dibidang marketing yang sangat canggih (seseorang berpeluang untuk sukses secara finansial dengan modal, tingkat pendidikan, dan prasyarat lain yang relatif minim), tetapi kenyataannya banyak orang justru trauma karenanya (tentu saja oleh berbagai sebab, diantaranya tertulis dalam beberapa point dibawah ini).
Perusahaan MLM umumnya tidak transparan didalam membagi keuntungan dengan para distributor, dan umumnya perusahaan mengambil keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang diberikan pada para distributor. Maka biasanya perusahaan MLM cepat kaya, hanya sebagian kecil distributor yang berhasil kaya (Tidak heran jika pertumbuhan perusahaan MLM bak jamur dimusim hujan. Dan banyak praktek Money Game yang berkedok MLM). Anehnya selanjutnya Perusahaan Yang Kaya itu menjadi ?dokma yang penting? sebagai salah satu syarat penting perusahaan MLM yang bonafide, padahal yang membuat perusahaan itu bonafide adalah para distributor sendiri (biasanya distributor tidak kaya, kecuali sebagian kecil orang saja). Member MLM umumnya kurang menyadari bahwa perusahaan yang begitu cepat kaya, justru hasil jerih payah member sendiri, sementara itu member tetap miskin (sedikit saja yang kaya). Sulit ditemui perusahaan MLM (melalui support system atau para leadernya) yang menekankan ?Ini loh ?sebagian besar distributor kami kaya?.
Bonus yang dibagikan kepada distributor sesungguhnya kecil, tetapi dibungkus dengan marketing plan yang sangat rumit. Saking rumitnya bahkan para leader sendiri sering tidak mampu menjelaskan kepada member baru. Tingkat kerumitan dari yang paling rendah hingga profit sharing internasional, seolah mencerminkan besarnya bonus. Memang betul kalau berhasil dapat bonus sangat besar, tetapi probabilitas keberhasilan itu sungguh sangat rendah (misalnya 1 dibanding 6.000 orang atau lebih).
Bonus sesungguhnya kecil, tetapi dibungkus dengan aneka iming-iming yang menggiurkan misalnya kendaraan mewah, rumah mewah, tour prestisius, sharing internasional dll. Seolah-olah berbagai reward itu mudah dicapai, padahal probabilitas keberhasilan sungguh sangat rendah (lihat point 3).
Berbagai iming-iming itu biasanya juga diiringi dengan berbagai predikat/bintang/posisi yang hebat-hebat (Golden Diamond, Gole Lion dlsb), seolah-olah mudah dan cepat diraih, padahal umumnya sangat sulit dan memerlukan waktu yang panjang (dalam kepangkatan militer hanya sampai bintang 4, dalam MLM bias sampai 8 dan seterusnya). Reward pada hakekatnya ?hasil jerih payah distributor sendiri yang diberikan secara ditunda oleh perusahaan, dan biasanya melalui persyaratan yang sangat sulit (misalnya, side volume, Total Group Sales, keseimbangan, harus qualified selama sekian bulan dll), dan jika seorang tidak berhasil, maka reward akan menjadi milik perusahaan?. Anehnya umumnya distributor tidak memahami hal itu, dan seringkali malah bangga dengan kondisi sedemikian itu (kondisi yang sulit itu). Predikat/Pangkat seringkali tinggi-tinggi sebenarnya sama sekali tidak diperlukan, sebab yang paling penting bagi seorang member/distributor MLM adalah besarnya bonus. MLM yang memakai gelar predikat, biasanya menetapkan berbagai persyaratan yang ketat pula. Dan seorang Upline mau tidak mau dipaksa terus untuk mengungguli Downlinenya, kalau tidak mau berkurang bonusnya (sebab break away), dengan demikian kebebasan finansial dan kebebasan waktu yang dijanjikan, sangat kontradiktif.
Mestinya perusahaan MLM menjual produk dengan harga yang lebih murah atau setidak-tidaknya sama dengan penjualan secara konvensional (lihat bagan dibawah), tetapi umumnya justru menjual lebih mahal jika dibandingkan penjualan konvensional (biasa disebut mark up harga yang prosentasenya sangat bervariasi). Padahal penjualan yang melebihi harga yang sebenarnya, masuk kategori money game. Biasanya Upline dengan berbagai dalih menjelaskan kepada DL atau calon DL, bahwa harga realistis (dengan mempergunakan berbagai analogy, dan biasanya tanpa fakta). Kalaupun jelas-jelas di mark up, dijelaskan pula bahwa mark up itu masih realistis untuk pembayaran aneka bonus (kalau Upline yang agak ngerti sedikit dunia ekonomi, biasanya dibumbuhi aneka logika ekonomi, yang mengesankan seolah-olah ilmiah, padahal nipu).
PENJUALAN KONVENSIONAL
PRODUK DIBUAT DIPABRIK
(Bisa Milik Sendiri, Bisa Milik Orang Lain)
Biaya biasanya terdiri dari:
Cost Manufacture
Row Material
Administrasi
Bunga Bank
Profit Pabrik dll
(misalnya sebuah produk harga Rp 2.500,-)
Biaya Promosi Rp. 2.500,-
End User Rp 5.000,-
Jika sebuah produk diperdagangkan secara konvensional Rp 5.000,- maka secara MLM mestinya sama, atau bahkan lebih murah krn tanpa Biaya Promosi atau setidaknya sama
End User Rp 5.000,-) Umumnya perusahaan MLM, justru mark up harga. Jika memang mark up harga, maka harus hati-hati, sebab kemungkinan besar money game yang dilarang agama, dan bertentangan dengan moral kemanusiaan
Dilihat dari alur bisnis diatas ,sebenarnya perusahaan MLM tidak perlu memiliki pabrik sendiri. Sebab perusahaan MLM punya pabrik sendiri atau tidak sebenarnya tidak berpengaruh bagi bonus member (member dibayar sesuai dengan marketingplan). Tetapi kebanyakan dijadikan ?Alat Brainwashing?, bahwa kalau seseorang ikut MLM yang tidak memiliki pabrik sendiri itu sama dengan ?Menjadi Sales?. Sales atau tidak berhubungan dengan kenyataan bahwa seseorang ?menjual barang?, tidak berhubungan dengan pabrik milik sendiri atau tidak.
Cukup banyak perusahaan MLM yang gembar-gembor kehebatan perusahaan, pabrik milik sendiri dll bahkan berkembang di banyak negara. Padahal tidak sesenpun berpengaruh pada bonus member (bonus dibayar sesuai marketing-plan, bukan dari besar kecilnya perusahaan, bukan dari apakah punya pabrik sendiri atau tidak). Besar kecilnya perusahaan biasanya dijadikan alat untuk membrainwashing member. Dalam konteks ini ada pengalaman dari seorang teman yang diprospek untuk suatu MLM. Kebetulan teman yang kebetulan cukup punya pengetahuan dan pengalaman yang luas mempermasalahkan secara detail. Orang yang mengajak responsnya sangat lucu ?Masih banyak orang bodoh lainnya kok pak?, gila!!!
Sehubungan dengan gambar di point 6 diatas, ada MLM yang bonus rekruitmennya mencapai 50%, itu betul-betul dahsyat! Tentu kita pantas untuk curiga, kemungkinan besar itu masuk money game, sebab sudah bisa diyakini pasti mark up harga, jika tidak, maka dari mana perusahaan MLM itu membayar bonus-bonusnya? Pabrik yang dimiliki sebuah MLM tentu sudah mengambil keuntungan, sebelum dikirim ke bagian marketing (dalam hal ini perusahaan MLM), dan tidak mungkin keuntungan Pabrik diambil untuk membayar bonus dari para member MLM.
Banyak kegiatan Money Game, ataupun arisan berantai yang berkedok MLM. Pada prinsipnya ketika sebuah perusahaan menjual produk melebihi harga yang seharusnya, termasuk Money Game. Atau sebaliknya mendapat barang/produk yang harganya jauh lebih tinggi dari uang yang diinvestasikannya, asalkan memenuhi syarat (merekrut sekian orang DL), padahal setelah dijumlah atau dikumpulkan uang dari seluruh member tadi, jumlah uang berpuluh hingga beratus kali lipat dari harga produk yang diserahkan. Lagi-lagi probabilitas sangat rendah, tetapi masyarakat senang bermimpi (sebentar lagi saya dapat), padahal yang kaya raya adalah perusahaan, dan sebagian besar masyarakat menjadi korban. Sementara itu masyarakat tidak bisa menuntut kepada siapapun. Uang tidak bisa ditarik kembali, dan untuk mendapatkan bonus masih terlalu jauh.
Tidak sedikit pelaku MLM yang melupakan hukum-hukum agama ataupun moral sekalipun didalam merekrut anggota (biasanya memakai aneka edivikasi yang over dosis). Biasanya memberikan iming-iming yang muluk-muluk agar orang yang direkrut segera bergabung, bahkan berani hutang-hutang (dengan demikian keuntungan bagi pengajak dan terutama perusahaan), padahal dirinya sendiri belum pernah mengalami sebagaimana apa yang diceritakan (diiming-imingkan).
Para pelaku MLM umumnya mengajari ilmunya Robert Kyosaki dalam Cashflow Quadrant untuk menjadi IBO (Independent Business Owner atau Investor atau ?Pindah Ke Quadrant Kanan?) namun dalam pelaksanaannya terjebak ?Tetap Di Quadrant Kiri? tanpa terasa. Misalnya, tetap harus merekrut member terus menerus, tetap harus menjual produk dll, padahal itu semua pekerjaan ?Employee? (Sales) yang berada di Quadrant kiri.
Umumnya pelaku MLM menekankan 4 pilar (Produk, Company, Support Sistem, Marketing Plan). Company Profile biasanya menjadi pilar penting, sulit dijumpai ?Member profile? yang sebagian berhasil. Member MLM masih menjadi obyek tinimbang subyek. Selain itu ada yang menambahkan sudah menjadi anggota APLI atau tidak. Mewajibkan perusahaan MLM menjadi anggota APLI sama halnya mewajibkan semua mahasiswa muslim masuk HMI, mewajibkan semua insiyur masuk dalam Ikatan Insinyur Indonesia dll. Yang terpenting dari perusahaan MLM adalah memiliki IUPB apa tidak, ada izin depkes, hasil pemeriksaan laboratorium atau POM apa tidak.
Modal biasanya tampak kecil, tetapi sesungguhnya besar sebab:
a. Harus melakukan tutup point (belanja ulang) setiap bulan dan biasanya sebagai syarat untuk mengambil bonus. Jika tidak melakukan belanja ulang, bonus tidak keluar. Kalaupun bonus keluar biasanya lebih kecil dari pengeluaran yang telah dikeluarkan sebulan sebelumnya.
b. Setiap pertemuan membayar untuk dirinya sendiri dan membayari calon Downlinenya.
c. Membeli berbagai perlengkapan untuk bahan prospekting
d. Setiap tahun melakukan pendaftaran ulang (renewal) dan membayar.
Dalam MLM terdapat banyak jebakan, misalnya:
a. Pendaftaran kelihatannya kecil, tetapi memang kurang sesuai dengan harga yang sebenarnya. Kelihatannya kecil tetapi harus ada renewal pendaftaran setiap tahun, belanja ulang setiap bulan dll. Bahkan ada kejadian seseorang mestinya dapat reward kendaraan, karena terlambat 1 minggu, reward tersebut tidak diperoleh tanpa ampun (sangat kejam).
b. Tutup Point dijadikan syarat untuk mengambil bonus. Padahal bonus seharusnya diperoleh setelah distributor bersusah payah selama sebulan lebih (umumnya 1,5 bulan), terlepas apakah member akan tutup point atau tidak. Anehnya justru bonus tidak diberikan jika tidak melakukan tutup point (melakukan pembelanjaan ulang). Seringkali (diawal kariernya) seorang pelaku MLM menerima bonus yang lebih kecil dari jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk tutup point dan berbagai pengeluaran lainnya selama sebulan sebelumnya (misalnya menghadiri pertemuan harus mbayar, mengajak calon downline juga membayar, untuk keperluan fotocopy, membeli aneka cetakan untuk prospecting, biaya transportasi dll).
c. Membina dan mengembangkan jaringan bukanlah pekerjaan yang mudah, namun setelah besar, terkena aturan break away, yang mengakibatkan rendahnya bonus. MLM sedemikian sungguh mengecewakan. Memang kebanyakan member MLM join atas dasar ?Trial and Error? nah ?repotnya kalau sudah terlanjur memiliki jaringan besar, padahal bonus kecil (artinya bonus yang dibagikan ke dirinya dan member diatas dan dibawahnya dibanding dengan uang yang masuk ke perusahaan).
d. Bonus internasional, bagaimanapun tetap harus proporsional (jumlah yang diperebutkan dibagi dengan sejumlah orang yang berhak menerimanya, sesuai dengan prestasinya masing-masing, dan tidak mungkin serta merta dibagi dengan banyaknya orang yang telah memenuhi syarat menerima bonus internasional), namun kebanyakan orang tidak tahu.
e. Berbagai bonus kelihatannya besar (Bonus Sponsoring dll), padahal setelah jaringan berjalan ternyata bonus sangat kecil. Bonus sponsoring yang besar (dengan marketing plan yang menuntut agar member mensponsori orang terus, merupakan jebakan yang fatal. Para leader cenderung akan lebih senang mensponsori member baru daripada membina jaringannya). MLM pada hakekatnya bisnis jaringan, jaringanlah yang mestinya diutamakan (Mestinya MLM sesuai namanya menjanjikan ?Bonus Level? yang besar dan bukanya ?Bonus Kerja?). Marketing plan, yang menuntut member terus menerus melakukan sponsoring sementara itu menjajikan ?passive income? adalah kontradiktif dan dikotomis.
f. Banyaknya jenis bonus seolah-olah mengambarkan BESARNYA BONUS, padahal tidak (Ada MLM yang memberikan hingga 16 jenis bonus). Kenapa? Sebab setiap bonus ada syaratnya sendiri-sendiri. Kebanyakan Upline menutup-nutipi syarat itu (hanya melihat banyaknya bonus identik dengan besarnya bonus), dan anehnya member percaya begitu saja. Jadi semboyan ?Teliti sebelum membeli/bergabung? memang tidak mudah di dunia MLM.
g. Peringkat dan Reward kebanyakan juga hanya menjebak. Peringkat tinggi seolah-olah mencerminkan tingginya bonus, padahal sekalilagi SENANTIASA ADA SYARAT. Sehingga peringkat tinggi kalau tidak mampu mempertahankan MEMENUHI SYARAT, maka tetap tidak dapat bonus (atau dapat tetapi sangat kecil). Reward pada hakekatnya bukanlah ?give? atau ?hadiah Cuma-Cuma dari perusahaan? melainkan hasil keringat para member sendiri yang dibayarkan secara ditunda. Seringkali member sudah sangat kelelahan, jenuh dlsb ketika menjelang mencapai reward. Dan lebih konyol lagi, reward dicapai tetapi masa promosi sudah lewat. Dan tentu saja tidak ada ampun bagi member tersebut. Nah ?perusahaan model begitu, benar-benar merugikan masyarakat. Apalagi kalau perusahaan asing, wah ?.orang Indonesia habis-habisan, ya dibodohi, ya diambil keringatnya, darahnya, uangnya dibawa kabur ke luar negeri.
Bonus umumnya dibagikan setelah 1 s/d 1,5 bulan, uang ditumpuk diperusahaan, berpeluang besar bagi perusahaan MLM (pengelola) untuk melarikan uang member. Atau stidaknya uang disimpan di Bank atau didepositokan, bisa jadi kemungkinan uang bonus sebagian dibayar dari hasil deposito itu, atau setidaknya ?Perusahaan Mendapatkan Keuntungan Yang berlipat ganda dari pembayaran bonus yang lama itu?. Memang kini sudah banyak MLM yang membagikan bonus dengan relatif lebih cepat (ada yang mingguan bahkan ada yang harian) dan sangat transparan, tetapi jumlahnya masih terlalu sedikit. Pembayaran bonus yang terlalu lama (apalagi reward), mengakibatkan investasi/pengeluaran member yang semakin besar pula dan semakin lama mencapai BEP (Break Even Point atau Balik Modal).
Aneka penipuan:
a. Pengelola kabur dan membawa seluruh uang member
b. Upline mengambil uang member, dan member diberi barang dan bahkan bonus, namun tidak didaftarkan di perusahaan yang bersangkutan
c. Upline membawa kabur uang Downline (sebagian maupun seluruhnya)
d. Bonus tidak dibayarkan tepat pada waktunya
e. Bonus tidak dibayarkan sebagaimana seharusnya
f. Support system, yang membungkus berbagai kelemahan perusahaan
g. Upline yang sebenarnya bonusnya kecil demi memotivasi para DL tetap bersemangat dalam berbagai acara, aneka yel dikeluarkan. Berbagai acara (training, bahkan ke luar negeri) keluar uang sendiri, seolah-olah mencerminkan kesuksesan seseorang (ternyata uang bisa jadi hasil dari hutang, jual kendaraan dll). Banyak saya jumpai orang yang menyatakan ?Gara-gara ikut MLM itu mobil saya terjual, hutang saya banyak dll?, padahal ketika OPP semangat luar biasa seolah-olah dia sudah berhasil!
Support system yang mestinya menjadi ajang memperlancar bisnis, kebanyakan berubah menjadi ?Ajang Memberi Motivasi? yang sifatnya komersial. Sehingga ?Support System?, menjadi ?Bisnis Sampingan? bagi para Upline/Leader atau orang-orang yang terlibat didalamnya. Dalam konteks ini, para leader/upline sungguh-sungguh telah berbohong besar dan membodohi member baru dan DL. Doktrinnya adalah ?Ini ilmu, ya harus bayar?. Kalau orang-orang yang mau mendengarkan informasi saja harus membayar dimana letak ?Support? para Upline/Leader itu?
Banyak leader yang melakukan brainwashing dan pembodohan tinimbang mencerdaskan, misalnya:
a. Pengungkapan berbagaihal (seperti omzet perusahaan dll) tanpa data dan fakta
b. Member diminta mengikuti apa kata upline (kalau mau sukses contek habis saja cara X ini!)
c. Perusahannya merupakan perusahaan terbesar (biasanya datanya sulit di chek)
d. Perusahaan tersebar di berbagai negara, jarang ada member yang ngechek sendiri (bahkan para leaderpun mungkin tidak)
Marketing Plan (karena umumnya perusahaan MLM berasal dari luar Indonesia) kurang cocok untuk karakteristik orang Indonesia. Kebanyakan orang Indonesia bergabung dengan perusahaan MLM dalam rangka perbaikan ekonomi keluarga, tetapi seringkali terjadi sebaliknya. Umumnya orang Indonesia (oleh berbagai sebab salah satunya alas an ekonomi keluarga) lebih ingin cepat memetik hasil atau dengan perumpamaan ?Kalau menanam mangga lebih senang dengan system cangkok tinimbang menanam dimulai dari biji?, bahkan jika mungkin ?langsung saja membeli dipasar?. Sedangkan MLM umumnya dikonsep untuk masyarakat ekonomi maju, yang tidak terlalu buru-buru menikmati hasil, sebab negara menjamin kesejahteraan warga negaranya (bahkan pengangguranpun mendapat tunjangan sosial).
MLM dengan marketing plan tertentu, merangsang member untuk berspekulasi membeli produk sebanyak-banyaknya atau peringkat setinggi-tingginya. Kalau modal besar mungkin bisa memperoleh impiannya, tetapi seringnya justru hanya menumpuk barang, sehingga menjadi sampah belaka.
Sebagian MLM membayar dalam bentuk $ US. Dalam kondisi Indonesia yang belum pulih secara ekonomi, biasanya membuat lonjakan harga yang dramatis, umumnya membuat member kocar-kacir.
MLM telah banyak membuat trauma para member MLM, sehingga ada beberapa perusahaan yang intinya sebenarnya MLM namun tidak mau menyebut dirinya MLM.
Sebagian MLM memberikan aneka promo untuk menggaet member sebanyak-banyaknya. Seringkali terjadi dimasa promo saja sudah sulit apalagi diluar promo.
Probabilitas keberhasilan yang rendah, tidak pernah diungkapkan oleh perusahaan MLM. Member dibelakang hari (Downline) merupakan korban ketidakfahaman para member terdahulu (Upline) dalam memahami segala permasalahan diatas dan berbagai permasalahan lain dalam dunia MLM.
Ketidak berhasilan biasanya dialamatkan pada ?Tidak focus, kurang integritas, kurang komitmen?. Kalau seseorang dalam perjalanan bisnisnya kemudian sadar ?oh ?.ternyata kurang menguntungkan? maka ?tetap focus? hanya akan mengakibatkan pada ?Focus dalam kesulitan, komitmen dalam bonus rendah, integritas dalam ketidakberdayaan? dan itu semua tentu saja mustahil.
Biasanya tidak seorangpun Upline/Leader sanggup, bersedia, ataupun mampu menjelaskan ?Apa kelemahan bisnis jaringan yang anda tawarkan kepada saya?? Biasanya hanya bicara yang bombastisnya saja (baik memang karena ketidak tahuan, karena kebodohan, hasil duplikasi yang jelek, atau karena menyembunyikan segala sesuatu).
Ada satu statement yang amat sangat membahayakan dalam kaitannya untuk tidak membahas bisnis secara detail ?Kita tidak menipu kok, cuma kita tidak perlu ungkapkan semuanya?, atau ?kita tidak menipu kok, tetapi kita tidak mengungkapkan kebenarannya? (edun kan?).

1 komentar:

  1. maaf PAk, data yang bapak sampaikan tidak akurat...sy juga pengamat MLM. dan dalam pengamatan sy, apa yang Bpk sampaikan di atas tidak sepenuhnya benar. terutama pada perusahaan yang sy amati selama 10 thn belakangan ini...jadi mohon bpk utk tidak menghakimi semua perusahaan MLM. tidak 100% semua perusahaan MLM seperti itu...sayangnya Bpk tidak berimbang dalam memberikan data....trims...

    BalasHapus